Sebagai praktisi dan penggiat UMKM, tak jarang saya mendengarkan curhat atau pertanyaan dari pelaku usaha mengenai tawaran order white label. Oh ya, memangnya order white label itu apa, sih?
Jadi, bagi sahabat wirausaha yang masih bingung dengan istilah white label. Disini kita akan membahas bagaimana pelaku UKM dapat meningkatkan akses pasar dengan mudah melalui white label ini. Yuk kita bahas mengenai strategi pemasaran yang patut dicoba ini.
Order atau pesanan white label adalah jenis pesanan di mana pihak pemesan/pembeli tidak ingin menggunakan merek dagang produsen; hal ini umumnya dikarenakan mereka (pihak pembeli) berencana untuk menempelkan label/mereknya sendiri pada produk kita. Istilah white label ini cukup sering dibingungkan atau tertukar dengan penggunaan istilah private label. Bedanya apa, ya?
Istilah white label digunakan jika kita memiliki suatu formula atau resep produk yang kita “jual” ke berbagai pihak yang ingin menempel label merek-nya sendiri atas produk racikan kita. Jadi misalnya kita punya resep keripik pisang X; ada pembeli dari Ternate di suatu pameran suka banget sama produk kita. Lalu tanya “bisa white label, ga? Saya mau jual di Ternate tapi pakai brand saya sendiri”. Keesokan harinya, ada pula tamu pameran dari Aceh, menanyakan hal yang sama, “bisa white label ga?”. Selama kita lebih mementingkan omset daripada keterkenalan brand atau merek kita secara nasional, menangkap peluang white label tentunya tidak masalah; toh mereka jualan di tempat masing-masing, kan? Sementara pasar yang sejauh ini sanggup kita garap sendiri misalnya baru di Jabodetabek. Dalam konsep penjualan white label, tidak ada eksklusifitas, karena kita adalah peracik dan pemilik resepnya.
Sementara private label, ini agak sebaliknya; yaitu pemesan meminta spesifikasi produk tertentu, kita racik resep/produknya sesuai permintaan pemesan, lalu nanti difinalisasi dengan merek milik pemesan dengan perjanjian eksklusif bahwa kita tidak akan memproduksi dengan brand tersebut hanya ke pemesan bersangkutan. Pemesan private label ini biasanya adalah perusahaan-perusahaan jaringan perdagangan retail seperti Indomaret, Giant, Alfamart, Hypermart, dll. Pernah lihat kan ada merek beras, gula, tisu bermerek toko-toko atau supermarket tersebut? Itulah Namanya private label. Produsen tidak boleh menjual tissue dengan spesifikasi tertentu dan dikemas dengan logo giant ke Hypermart atau retailer lain.
Namun demikian, ada kesamaan antara white label dan private label, yaitu bahwa konteks pemesanannya adalah pada kontens business to business alias pemesanan skala besar dan biasanya dengan kontrak yang mengatur jadual dan minimum skala pengiriman. Jadi kalau ada pembeli eceran yang minta white label, itu tentunya super aneh. Lebih aneh lagi kalau pelaku usahanya selaku perancang dan pemilik resep, mau-mau aja.
Untuk memberi gambaran lebih dalam, saya akan coba jabarkan pro dan kontra dalam merespon peluang-peluang white label ini. Supaya seru, kita mulai dari yang kontra dulu ya. Beberapa pelaku UKM yang memilih untuk menolak atau kontra pesanan white label itu, umumnya seperti ini pertimbangannya:
Saya yakin dengan keunggulan produk saya dan sangat ingin membesarkan merek dagang saya, sehingga tidak boleh ada brand lain yang memiliki citarasa/kualitas yang sama persis dengan produk saya.
Jika dilihat dari pertimbangan-pertimbangan kontra di atas, dapat ditarik 3 alasan untuk kontra terhadap tawaran white label:
Jika dilihat dari pertimbangan-pertimbangan pro di atas, dapat ditarik 3 alasan untuk pro terhadap tawaran white label:
Kira-kira dari pertimbangan-pertimbangan di atas, mana yang lebih realistis ya? Tentunya jawaban yang tepat adalah: dua-duanya realistis, hal ini karena keputusan mana yang tepat sangat bergantung pada konteks masing-masing bisnis. Untuk memudahkan teman-teman menyusun pertimbangan dan mengambil keputusan, ada beberapa tips yang dapat kami bagikan, sebagai berikut.
Ada satu pertanyaan reflektif yang cukup bermanfaat untuk membantu para pemilik dan pendiri usaha untuk memperjelas prioritas dan arah perusahaannya, “Jika harus memilih, lebih ingin punya merek terkenal atau banyak pesanan rutin?”Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena pada kenyataannya, memiliki brand yang terkenal bukanlah syarat utama untuk menjadi perusahaan besar. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan pembuat chip atau piranti-piranti komputer, sparepart kendaraan, atau bahkan produsen bubuk-bubuk minuman, bisa menjadi perusahaan besar tanpa memiliki brand yang terkenal. Mengapa? Karena mereka sudah memutuskan untuk memposisikan bisnisnya pada jenis kolam rezeki B2B alias Business to Business. Sebagai perusahaan yang bermain di konteks B2B, mereka tidak merasa butuh dikenal luas oleh masyarakat luas; yang penting adalah membangun hubungan bisnis jangka Panjang dengan perusahaan-perusahaan pelanggan yang mau membeli produk kita skala besar dan berkelanjutan atau rutin. Contoh, produsen sparepart kendaraan, hanya perlu membangun hubungan dengan 5-6 produsen kendaraan terbesar misalnya. Masyarakat luas yang membeli motor atau mobil, tidak perlu kenal dengan mereka, bukan?
Menggarap merek agar bisa dikenal luas itu lebih relevan bagi perusahaan yang memposisikan dirikan di konteks B2C atau Business to Consumer; artinya, produk yang dihasilkan pun umumnya merupakan produk akhir yang bisa dikonsumsi di tingkat individu atau rumah tangga atau yang umum disebut dengan istilah consumer goods (makanan minuman dalam kemasan, perlengkapan mandi, perlengkapan masak, pakaian, dll)
Setiapbisnisatau perusahaanyang ingin besar tentunya perlu membangun tim yang kuat. Namun kita juga tahu, ketika skala usaha kita masih kecil, umumnya masalah tim ini jugalah merupakan suatu masalah yang mesti kita hadapi. Misalnya, pemilik usaha selaku direktur utama mereka kesepian karena tidak ada teman berpikir; mengapa? Karena di timnya, tidak ada lagi yang bisa berpikir strategis, melainkan hanya bisa membantu melaksanakan tugas rutin atau produksi saja. Atau, pemilik usaha sudah sadar dan ingin memperkuat promosi digital, tapi di timnya sendiri tidak ada yang mengerti digital marketing. Nah, menghadapi situasi seperti ini, mungkin kita juga perlu realistis; apakah saat ini kita punya tim yang sanggup membangun dan mengelola merek dengan optimal? Ini pekerjaan yang tidak mudah. Logo dan kemasan harus dirancang seksama, jalur promosi online yang harus dikelola baik di media sosial, website, dan jalur-jalur online dan offline lainnya. Bukan hanya salurannya yang harus dibuat, kontennya juga harus dipikirkan, gimmick promosi, kuis, hadiah atau strategi diskon, semua harus dirancang selaras agar efektif membuat brand menjadi lebih terkenal dengan citra yang baik, namun juga disertai dengan peningkatan penjualan.
Pendeknya, kalau pekerjaan mengembangkan brand itu mudah, tidak mungkin gaji brand manager di perusahaan-perusahaan besar itu tinggi banget, kan? Ok, jika tidak ada tim internal, ada tidak mitra potensial yang bisa membantu kita membangun dan mengurus brand? Jika hasilnya adalah tidak dan tidak, mungkin menggarap potensi pasar white label adalah pilihan yang relevan untuk diambil. Ke depan, sejalan dengan berkembangnya kekuatan dan kelengkapan komposisi tim, kita dapat pelan-pelan mengembangkan brand sendiri, dengan mengembangkan citarasa dan spesifikasi yang tentunya lebih baik. Hal ini sangatlah mungkin ya, karena sejatinya, semakin hari wawasan dan keterampilan kita akan semakin baik. Misalnya, dua tahun lalu kita menggunakan resep kripik X untuk dijual dengan skema white label. Logikanya, pada tahun ini kita tentunya sudah tahu atau kepikiran resep baru yang lebih enak atau lebih baik daripada kripik X. Nah, resep terbaru inilah yang bisa kita kembangkan untuk menggunakan label atau merek kita sendiri.
Beberapa perusahaan secara konsisten memutuskan konsisten menjadi perusahaan B2B dan bahkan ada yang spesifik memposisikan dirinya sebagai spesialis white label. Mengapa? Karena dari hasil hitungan mereka, investasi untuk membangun brand membutuhkan biaya yang cukup besar dan waktu yang juga tidak sebentar. Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan umumnya juga tidak bersifat langsung dalam jangka pendek. Tentu setiap perusahaan selalu memiliki lebih dari 1 pilihan strategi dalam mengembangkan usahanya. Contoh, pendapatan perusahaan bisa ditingkatkan dengan menambah jumlah klien white label, meningkatkan jumlah pesanan per klien, menambah jenis varian produk yang tersedia untuk pemesanan white label; atau bisa juga dengan meningkatkan harga jual produk jika melakukan direct selling ke konsumen (atau menambah kolam rezeki yang tadinya hanya fokus di B2B, menjadi ikut berenang di kolam B2C). Untuk pilihan terakhir ini, diperlukan upaya pembangunan nilai dan citra brand. Setiap pilihan dapat dievaluasi besar kecilnya upaya atau investasi yang harus dikerahkan untuk mencapai peningkatan kinerja pendapatan usaha, kan? Lalu perusahaan pun kemudian bisa menilai, ingin main di volume tapi margin lebih tipis dengan menggarap white label; atau ingin juga bisa main di margin yang lebih tebal dengan mengelola merek untuk melayani segmen B2C?
Demikian kiranya ulasan terkait cara bijak untuk menangkap peluang white label. Kebanyakan keputusan bisnis itu bukan soal dilema baik atau buruk; melainkan lebih ke dilema cocok atau tidak cocok, alias relevan atau tidak relevansi suatu konteks waktu dan situasi tertentu. Mengapa? Bisa jadi, dulu bermain di kolam rezeki B2C tidak cocok bagi perusahaan kita karena komposisi tim yang tidak lengkap, hanya ada ahli produksi, tidak ada yang piawai mengurus pemasaran. Namun ketika sejalan perusahaan membesar dan mulai ada kemampuan untuk merekrut mitra (konsultan) atau karyawan yang bisa berpikir strategis dan mengelola pemasaran (termasuk branding), bisa jadi opsi untuk bermain di B2C menjadi cocok. Betul, tidak? Untuk itulah ketiga pertimbangan reflektif di atas perlu menjadi bahan evaluasi tahunan setiap pengusaha dalam merespon berbagai peluang yang ada, termasuk peluang untuk melayani peluang pemesanan white label.
Biar bagaimanapun juga, memenuhi pesanan white label dapat membantu menebalkan cuan perusahaan, selama disertai dengan kontrak yang menarik, baik dalam hal jumlah pesanan, frekuensi pesanan, dan tentunya kejelasan termin pembayaran. Jika perusahaan belum memiliki SDM khusus yang dapat mengelola pemasaran dengan baik, pastikan saja hal-hal tersebut sebelum menolak suatu peluang pemesanan white label. Hal ini karena bisa jadi, justru melayani peluang white label adalah pilihan yang paling cocok untuk konteks perusahaan saat ini.
Dewi Meisari, Project Leader ukmindonesia.id dan Dosen Universitas Indonesia